Bangga karena apa ?ARTIKEL

Jul 11, 2008 09:18 oleh Admin
Seorang petinggi yang mencapai posisi atas di sebuah perusahaan memberi sambutan dalam sebuah acara pembukaan pendidikan bagi pegawai entry level. 
 
"Contohnya saya sendiri. Ketika masuk saya juga seperti anda, berangkat dari posisi paling bawah. Sekarang saya sudah mencapai posisi seperti ini. Bagi saya ini sungguh membanggakan ....", katanya.
 
Saya memilih memaknai sambutan petinggi ini sebagai pemberian inspirasi agar para peserta pendidikan memiliki semangat tinggi dalam belajar, karena mereka berpeluang untuk mencapai posisi top management. Namun begitu, saya juga sekaligus melakukan 'pertahanan diri' terhadap pemaknaan yang bisa-bisa membuat saya terjebak pada manusia 'permukaan'. Maksudnya ?
 
Sepanjang pengalaman dan pengamatan saya, orang tidak lagi peduli apakah pemegang jabatan itu dulunya orang hebat, penuh prestasi masa lalu. Lingkungan dan Perusahaan lebih melihat, saat itu, apa yang telah diperbuat oleh pemegang jabatan itu bagi Perusahaan ? Nilai tambah apa yang telah ia berikan kepada Perusahaan selama ia menjabat ? Sama dengan Tuhan tidak akan memberi ponten terhadap berapa harta yang telah kita kumpulkan. Tetapi dari mana harta itu diperoleh, dan digunakan untuk apa harta yang diperoleh itu.
 
Saya sendiri punya modal terjebak pada kebanggaan akan posisi, bukan kontribusi. Di setiap level jabatan, saya selalu menjadi pejabat 'termuda'. Mulai dari asisten kepala bagian termuda, hingga pimpinan anak perusahaan termuda ketika baru menjabat. Namun begitu, saya sadar, seluruh kecepatan perjalanan karier saya, seluruh pendidikan yang telah saya tempuh, seluruh 'kehebatan' prestasi masa lalu, sama sekali tidak berguna saat ini untuk disebut-sebut, ditonjol-tonjolkan, bahkan dibangga-banggakan. Yang dinilai dan dihargai adalah, bagaimana jabatan itu sampai dipercayakan (bukan dihadiahkan) kepada saya, dan apa yang telah saya perbuat pada jabatan dan posisi saat ini bagi perusahaan dan lingkungan. Kalau kelakuan saya dan hasil kerja nol besar, atau bahkan minus, maka keberadaan saya adalah musibah bagi Perusahaan dan lingkungan. Saya katakan seperti itupun bisa anda bilang : "Prass, kamu sedang pamer 'kerendahan hati ?" ...
 
Mudah-mudahan Bapak petinggi itu merasa bangga karena apa yang telah ia perbuat sehingga ia mencapai posisi itu, bukan bangga karena posisinya. Banyak orang di seputar saya yang bangga mencapai karier yang tinggi, tapi lingkungan seperti tidak menaruh respek, bahkan menertawakan dia. Mengapa ? Karena ia mencapai posisi itu lebih memberdayakan kompetensi 'politik' untuk 'merapat' dan 'menempel' kepada 'anchor' yang dia berhasil 'jilat'. Kompetensi profesional ? .. Nol besar. Indikatornya biasanya cibiran orang-orang sekitar yang melemparkan pertanyaan :"mana prestasi kerja orang itu ?".
 
Kalau badan anda masih kerempeng, lalu minta baju yang lebih besar, kira-kira begitu dipakai bagaimana reaksi orang-orang sekitar anda ? Apakah mereka tidak 'membatin' anda karena anda memakai baju kedodoran ? Sepanjang pengalaman saya, sekaligus menjadi keyakinan saya saat ini, daripada mengejar jabatan, lebih penting bagi saya untuk memperbesar otot-otot kompetensi profesional seperti pengetahuan, keterampilan, sikap, dan kebiasaan yang diperlukan oleh fisik, mental, emosional, dan spiritual untuk menjawab tantangan dan persoalan saat ini dan masa depan. Nanti kalau otot-otot saya sudah besar, saya yakin, pasti Tuhan melalui tangan 'manajemen' akan memberi 'baju' (jabatan) yang 'pas' dengan ukuran tubuh saya.
 
Kalau saya memaksakan diri untuk mengejar jabatan, tapi sesungguhnya kompetensi saya belum cukup, itu sama saja seperti saya baru punya otot yang mampu mengangkat beban 50 kg, tapi minta beban 200 kg. Bukannya ketenangan dalam menjalankan peran dan tanggungjawab, yang ada malah penderitaan yang amat sangat.
 
Sekali lagi, mungkin saja ada orang yang bilang ke saya, "Ahhh .. berarti kamu takut menderita dong ? ... ***