Berguru Kepada Yoyo'ARTIKEL
Mar 03, 2008 05:14 oleh Admin
Namanya Padmono, panggilannya Yoyo’. Waktu SMP dia termasuk ’preman’ sekolah. Sejak kelas 1 sudah menunjukkan ‘kepemimpinan’nya dalam soal dunia kekerasan masa sekolah. Saya pernah dipanggil wakil kepala sekolah gara-gara nama saya mirip dengan salah satu ‘anak buah’ Yoyo’ yang baru saja berulah.
Ketika sekelas kembali di kelas 3, saya ingat betul dia pernah nabok seorang teman gara-gara tidak mau pindah tempat duduk. Waktu itu kami di dalam bus di perjalanan wisata dari Tawangmangu kembali ke Yogyakarta.
Saat bertemu kembali pada reuni kecil SMP baru-baru saja, penampakan luar masih ‘berbau’ preman. Dia punya tattoo dan kucir rambut belakang yang cukup panjang. Sampai di sini saya masih melihat Yoyo’ sekarang adalah Yoyo’ yang dulu. Hanya saja, saya jauh lebih rileks berinteraksi dengan dia karena saya melakukan uptime (me-nol-kan prasangka).
Sampai suatu ketika, kami bertemu di yahoo messenger dalam sebuah conference dengan teman-teman lain, bahasa yang ia gunakan punya etika kontekstual. Bahasanya tidak ‘preman’ lagi. Bukan itu saja. Ketika sedang asyik-asyiknya ngobrol, tiba-tiba dia pamit sebentar untuk sholat Ashar, sesuatu yang tidak pernah saya lihat ketika SMP. Beberapa hari kemudian kami bertemu kembali di sebuah kafe dan beberapa kali dia mendesah ‘Allah’, misalnya ketika ‘ngulet’ (meregangkan bagian tubuhnya).
Memang fenomena Yoyo’ mirip dengan almarhum Gito Rollies, Harry Mukti, Ustadz Jeffry, dan sederet nama beken lain yang mengalami titik balik dalam kehidupannya. Bedanya, Yoyo’ beragama bukan lewat ceramah-ceramah, tapi lewat tindakan menjalankan ajaran-ajaran Tuhan khususnya dalam bidang kemanusiaan. Saya melihat bagaimana dia tiba-tiba berdiri menyambut dengan santun seseorang tetangga yang kebetulan datang ke kafe itu. Bagaimana ia menggagas paguyuban alumni yang mengarah kepada kegiatan sosial. Bagaimana ia disambut dengan air mata haru guru-guru SMP ketika ia datang dengan kesantunan memberikan sekedar cinderamata. Terakhir yang saya dengar, ia mengasuh sebuah yayasan pesantren yang menampung dan mendidik 100 lebih anak yatim.
Ketika saya tanya, bagaimana kehidupan rejekinya, ia bersyukur berkecukupan. Saya jadi ingat salah seorang pimpinan saya juga termasuk berkelimpahan dan memiliki ribuan anak asuh. Semakin lama anak asuhnya semakin banyak. Yang menarik, kesimpulan saya adalah bukan karena dia kaya lalu menyumbang, tapi karena menyumbang dia jadi orang jadi kaya.
Ketika hal ini saya sampaikan, Yoyok mengangguk sambil tersenyum. Ia bilang, yayasan pesantrennya kalau pakai kalkulasi otak sulit diprediksi bisa hidup. Tetapi nyatanya ada saja rejeki yang sumber dan jalannya tidak pernah diduga sebelumnya. Kalau mau berbuat baik, tidak usah mendahulukan pakai otak, karena hitungannya untung-rugi. Tapi dahulukan pakai hati. Thanks Yo’ ! ***