Bukan Siapa, Tapi ApaARTIKEL

Nov 17, 2014 12:35 oleh Admin

Selesai mengevaluasi kegiatan pelatihan untuk sebuah instansi pemerintah, pimpinan tim segera melaporkan kepada saya apa yang sudah dibicarakan. Di hadapan saya, wajah beliau tampak tidak terlalu ceria seperti biasanya. Saya sudah merasa, pasti ada kekurangan yang dianggap fatal.

Beliau menyampaikan bahwa tim lupa membagikan slayer kepada peserta pelatihan. Meskipun peserta tampak tidak terlalu peduli soal slayer, dan di lembar evaluasi pelatihan tidak kami temui sedikitpun peserta menyinggung soal slayer, tapi karena slayer sudah jadi bagian dari rencana tim kami, maka ketika kenyataannya tidak sama dengan rencananya, itu kami anggap masalah.

Apa itu namanya memperpanjang masalah ? .. Toh, klien juga tidak terlalu peduli. Oh, tidak ... Masalah ini sengaja kami permasalahkan karena berguna untuk melatih kecermatan tim kami nantinya dalam mengeksekusi rencana yang sudah dibuat matang. Jadi mempermasalahkan masalah ini masih bermanfaat.

Selama laporan lisan itu, saya lebih banyak mendengarkan dan bertanya saja karena saya lihat proses evaluasi dan pembelajaran yang dilakukan sudah benar.

Seperti biasa, saya paling suka menindaklanjuti laporan apapun dengan mendatangi mereka yang terlibat dalam proses suatu kegiatan di lain waktu. Saya sengaja 'pasang badan' untuk menunggu dicurhati lagi, siapa tahu ada informasi yang belum saya dengar bisa muncul, sehingga menggenapkan pemahaman saya tentang apa yang sudah terjadi.

"Saya memperhatikan akhir-akhir ini master of training maupun training officer sudah tidak lagi memegang rundown dan check-list. Saya paham karena program ini sudah berkali-kali kita lakukan, jadi kita merasa hafal. Nyatanya, kemarin ada yang kelupaan kan ? .." kata saya menanggapi salah seorang staf saya yang akhirnya menyinggung lagi soal evaluasi pelatihan itu.

"Ya memang itu salahku ...", kata salah seorang anggota tim yang merasa 'bersalah' atas beberapa kekurangan yang terjadi.

"Oh, bukan ... kita tidak bicara soal siapa yang salah karena tidak bermanfaat untuk ke depannya. Semua orang bisa salah kok. Yang kita bicarakan adalah apa yang salah. Dengan tahu apa yang salah kita jadi tahu apa yang benar, dan semua orang bisa melakukan apa yang benar", timpal saya.

"Lagipula, yang kamu lakukan itu bagi saya bukan 'salah'. Sebenarnya kamu cuma tidak melakukan sesuatu atau melakukan sesuatu, sehingga hasil dan dampaknya seperti ini - sesuatu yang tidak kita inginkan. Itu saja ... Kita menjadi 'salah' kalau kita tidak tahu apa yang tidak sesuai dengan harapan itu, lalu tidak merencanakan tindakan yang ada dalam kendali kita yang akan mendekatkan hasil dan dampaknya kepada yang diinginkan ...", tambah saya. "Tapi menjadi salah pangkat tak terhingga kalau kita tidak melakukan tindakan yang sudah direncanakan untuk mencegah kejadian ini terulang kembali ...".

Ia kelihatan sedikit lega karena saya tidak menyalahkan dia. Kenapa saya tidak menyalahkan dia ? Karena dia sudah tahu apa yang telah dan tidak dia lakukan sehingga masalah itu terjadi. Saya juga menangkap nada dia waktu mengucapkan menunjukkan semangat belajar dari kesalahan untuk perbaikan ke depan. Lain halnya kalau misalkan staf saya itu tidak mau ikut bertanggungjawab alias ngeles, lalu membelokkan tanggungjawab kepada orang lain atau situasi lain. Ia bisa jadi 'makanan empuk' saya.

"Yang sudah terjadi toh tidak bisa kita ubah. Ya sudah, yang penting bagaimana kita membuat klien kita yang mungkin kecewa bisa senang dan percaya lagi. Lalu ke depannya, kita kembali ke standard operating procedure untuk membaca rundown dan melakukan recheck bersama sebelum kegiatan dimulai ..." ***