Cinta Dia atau Cinta Diri Sendiri ?ARTIKEL
Jul 04, 2010 07:02 oleh Admin
"Prass, bisa bantu terapi'in suamiku nggak ?", tanya seorang teman kepada saya.
"Kenapa suamimu ?", tanya saya balik.
"Dia masih punya rasa kemarahan dengan mantan isterinya. Dia pengen ngilangin rasa itu. Dia keganggu dengan perasaannya itu", jawabnya.
Buat teman saya ini, pernikahannya dengan suaminya yang sekarang adalah pernikahan ketiga. Saya sendiri mengikuti perkembangan kehidupan teman saya ini sejak ia akan bercerai dengan suami pertama. Selama 'kosong' ia sering gelisah dengan keadaan hidupnya. Beberapa curhatnya menyangkut kepahitan dan kepedihan menjalankan peran sebagai kepala rumah tangga dan orang tua tunggal. Ia ingin segera menikah lagi sehingga masalah-masalah yang menimpanya sebagian lenyap.
"Ini yang minta terapi kamu atau suamimu ?", tanya saya untuk memastikan kemauan 'sembuh' itu datangnya dari siapa.
"Suamiku Prass ..", jawabnya
"Bener ?", tanya saya lagi.
"Beneeerr. Dia keingetan terus sama mantan-nya. Aku jealous", katanya.
Mendengar kata 'jealous', tiba-tiba saya seperti punya peluang untuk memprovokasi dia.
"Apa alasan kamu untuk jealous ? Apa akibatnya dengan suami kamu kalo kamu jealous ?", tanya saya.
"Nggak tau ... ", katanya sedikit gelagapan.
"Dia sedang bermasalah trus kamu tambahin masalah. Kamu cinta dia apa cinta dirimu sendiri ?", tanya saya.
"Kok .. ?", katanya.
"Kalo kamu cinta dia, apa yang telah kamu lakukan untuk membantu menyelesaikan masalahnya ?", tanya saya lagi.
"I love him so much. Gue pengen dia bahagia .." katanya.
"Proses perceraian suami loe itu kan alot, lama, artinya ada kemungkinan dia mengalami luka emosi cukup dalam. Lantas kamu menuntut dia sembuh dengan segera ?", cecar saya.
"Nggak ... aku nggak menuntut itu ..", katanya. Sebuah kalimat yang tidak kongruen dengan pernyataan sebelumnya tentang jealous.
"Kondisi suamimu memang tanggungjawab dia sendiri. Kalau kamu memang tidak menuntut itu, maka jealous itu tidak perlu ada ..", provoke saya.
"Jealous itu bukannya tanda cinta ?", tanya dia.
"Bukan ! .. itu tanda kamu mencintai dirimu sendiri ... Itulah kalau menyamakan cinta dengan senang, demen, suka, nafsu." kata saya.
Saya langsung melanjutkan.
"Tergantung konteksnya. Kalau kamu jealous karena suamimu 'dekat' dengan wanita lain, itu wajar. Tapi dalam konteks yang kamu alami, kalau kamu jealous karena suamimu masih keinget mantan dalam keadaan marah, apa itu namanya .. ?
"......", teman saya diam.
"Mengapa kamu cinta dia ? .. Apa yang membuat kamu cinta dia ?".
".. karena dia kasih apa yang aku harapkan dari pasangan. Tanggungjawab, sayang ke aku dan anak-anak ..", jawabnya agak mantap.
"Nah tuh kan ... kamu cinta dirimu sendiri ..", sahut saya.
"Kok ... ?", dia heran.
"Kamu cinta dia karena dia bisa memenuhi keinginanmu. Karena itu kamu cinta ... Kalau nanti sudah tidak begitu, kamu tidak cinta lagi .. ?".
Dia diam saja.
"Kalau kamu tadi pas aku tanya 'apa yang bikin kamu cinta dia', lalu kamu jawab misalnya 'aku nggak tau .. pokoknya aku cinta dia ...', kemungkinan besar kamu memang cinta dia. Cinta itu tidak ada 'karena', kecuali karena mendapatkan ridho Allah. Kalau sudah begitu cinta jadi 'walaupun'. Walaupun bagaimana, kamu tetap mencintai dia ...", cecar saya.
"Ahhh ... kamu memprovokasi aku !", jawabnya tersadar.
"Ya memang !. Biar fondasi kamu kuat. Kalau anakmu sakit, kamu bawa ke dokter untuk disuntik, dan biarpun anakmu nangis kejer-kejer, kamu tetap tega demi si anak sehat dan kuat. Begitu juga aku, biar kata kamu bete dengan kata-kata dan omonganku barusan ini, aku tegain biar kamu kuat nantinya. Biar kamu tanggungjawab sama hidup dan perasaanmu sendiri. Jangan sampai kamu kayak pernikahan yang lalu, kamu menikah untuk menghindari tanggungjawab !", cerocos saya.
Ini adalah reka ulang perbincangan di blacberry messenger. Tak lama, di BBM saya muncul icon wajah tersenyum di belakang kalimat "Terimakasih ya Prass". ***