Hidup Indah Tergantung ArtiARTIKEL

Dec 18, 2007 01:24 oleh Admin

Kalau ada seseorang menangis, lalu ditanya, ada apa ? dia menjawab saya dihina oleh teman saya, maka yang membuat dia terhina apa ? kata-kata temannya itu ? Bukan. Tapi arti yang ia berikan kepada kata-kata temannya itu yang membuat dia marah atau tidak. Kemarahan yang dibatasi oleh ketidakberdayaan untuk melawan, jadinya ya menangis itu.

 

Kalau begitu bukan kata-kata orang lain yang membuat kita terhina ? Yup. Coba lihat dua orang baru saling bertemu, lalu salah satunya mengatakan ”Asu” kepada seorang lagi. Anda tahu 'Asu' ? Itu Bahasa Jawa yang artinya ’anjing’. Anehnya, orang yang dibilang ’asu’ tadi malah ketawa-tawa, lalu mendekati orang itu, mereka lalu ’tos’, dan salaman.

Kok orang disebut ’asu’ bisa malah ketawa-ketiwi ya ?. Rupanya mereka sudah akrab lama. Bagi mereka, ungkapan 'asu' berarti suatu ekspresi keakraban. Lain halnya kalau saya baru kenal anda, lalu anda saya bilang ’asu’. Mungkin cerita kita berakhir di rumah sakit atau malah kuburan. Inipun saya juga masih berskenario menurut peta yang ada di pikiran saya. Belum tentu reaksi anda seperti yang saya kira bukan ?. Di sini arti yang diberikan kepada suatu kata juga tergantung frame/konteks. Dalam kasus 'asu' di atas, konteksnya adalah dua orang yang sangat akrab sejak lama.

 

Kita selalu bereaksi berdasarkan peta internal kita akan suatu kejadian, bukan kejadian itu sendiri. Misalnya ada orang bilang anda ’belagu lu’. Maka di peta internal yang ada dipikiran tergambar apa ? Suatu upaya orang menjatuhkan anda ? Orang itu merendahkan anda ? Atau orang itu sedang merendahkan dirinya sendiri ? Atau anda mendapat informasi/feedback bagaimana ’penampilan’ anda di hadapan orang itu ? Pentingkah orang itu ? dst.

 

Anda bisa saja menggambarkan di peta internal bahwa anda sedang direndahkan, sehingga anda terhina. Kalau yang tergambar seperti itu, otomatis anda menjadi marah, dan selanjutnya anda menyerang balik, lalu hasilnya permusuhan.

 

Kalau yang tergambar di peta internal anda adalah orang itu sedang merendahkan dirinya sendiri – maksudnya ? ’kan ibarat teko berisi teh, maka apa yang keluar dari mulut teko memberitahu isi teko itu. Maka, kalau seseorang mengumpat orang lain, ia sedang memberitahu orang lain ’isi’ dari dirinya. Kalaupun orang itu anda percayai, setidaknya kata ’goblok lu’ bisa anda gambarkan di peta internal anda sebagai informasi umpan balik atau feedback bahwa anda perlu banyak belajar. Dampak dari tergambarnya peta pikiran anda seperti itu adalah perasaan anda menjadi lebih positif, anda mungkin bertindak lebih produktif, dan hasilnyapun bagus untuk kehidupan anda selanjutnya.

 

Di sini muncul formula : what you see (in your internal map) is what you feel, is what you do, is what you get. Jadi tafsir, makna, arti anda terhadap suatu kejadian, menentukan perasaan anda, lalu menentukan apa yang akan anda lakukan, dan menentukan apa yang akan anda dapatkan (hasil).

 

Kalau di peta internal seorang anak, sebuah pelajaran sekolah tergambar sulit (karena guru fokus kepada rumus, bukan kaitannya dengan kehidupan sehari-hari), menegangkan (karena sikap si guru), menyakitkan (karena guru suka menjewer), maka perasaannya si anak jadi negatif. Kalau sudah bete, kemungkinan besar anak menjadi takut sekolah dan pasrah. Kalau emosi ditekan, kemampuan otak ada pada otak reptillian – bukan neo-cortex (kreasi) atau mammalian (merasa) --. Otak reptillian adalah otak pertahanan diri/survival. Sebagaimana reptil, untuk mempertahankan diri, reaksinya ada dua : menyerang atau lari.

Sikap takut sekolah dan pasrah itu ciri-ciri reaksi lari. Kalau sudah begini, mungkinkan anak dapat nilai tinggi ? Rasanya sulit. Kecuali kalau anak dibantu untuk menafsirkan ulang kondisi yang dihadapinya di sekolah tadi. Kejadian itu kalau ditafsirkan sebagai tantangan, dan betul-betul tantangan real, lengkap dengan sumber daya yang dibutuhkan untuk menjawab tantangan tadi, bisa jadi semangat belajar si anak berubah tinggi. Kalau sudah semangat, kira-kira apa yang akan dilakukan anak tadi ? Lalu bagaimana hasil belajarnya ?.


Tapi sebenarnya yang lebih penting hal ini jadi masukan untuk para guru. Guru pun perlu menggambarkan dulu di peta internalnya, bahwa yang namanya mengajar itu sasarannya sekadar menyampaikan materi sesuai kurikulum, atau agar siswa memahami materi, atau lebih dari itu : mentransformasikan seorang anak ke level kompetensi yang lebih tinggi.

 

Jadi bagaimana anda memandang putus cinta ? ditolak prospek ? dimarahi boss ? Ingat saja cara mengecek apakah tafsir anda sudah bermanfaat atau belum. Saya katakan bukan tafsir yang benar, karena benar itu relatif dan debatable. Anda bilang benar, orang lain belum tentu benar. Supaya bermanfaat, tanya saja, kalau saya artikan seperti ini bagaimana perasaan saya ? apa dampaknya ? apa hasilnya ? Kalau mendatangkan kebaikan (ini juga baik menurut anda belum tentu baik menurut orang lain), maka tafsir anda sudah bermanfaat. Baik di sini adalah baik bagi anda sendiri dan orang lain -- Win-win. Sama-sama menang. Jangan anda menang sendiri, atau anda kalah.