Hormati Orang Yang BerpuasaARTIKEL
Aug 13, 2011 07:35 oleh Admin
Di koridor mall, satu jam sebelum waktu berbuka puasa, saya baru saja menyelesaikan hajat potong rambut. Saat sedang melihat-lihat isi toko dari luar, tiba-tiba saya disalib oleh seorang perempuan. Dalam sepersekian detik dalam hati saya langsung berucap "astaghfirullah". Dalam sepersekian detik pula saya langsung berhenti melangkah dan mengambil blackberry saya untuk memeriksa apakah ada pesan baru hanya untuk mengalihkan jendela kamera visual saya dari objek tadi. Mengapa objek tadi begitu dahsyatnya mem-break perilaku saya ?. Karena sekelebat sosoknya ia berambut panjang lurus, berbadan seksi, berkulit putih dan hanya mengenakan tank-top plus celana pendek super mini ketat. Lho ? bukankah itu pemandangan yang biasa di mal-mal sekarang ini ?. Ya ... Tapi sore itu adalah bulan Ramadhan.
Lantas memangnya ada apa dengan bulan Ramadhan ?. Memangnya selain bulan ramadhan anda bereaksi berbeda ?, mungkin begitu tanya anda kepada saya.
Memang, ukuran untuk sebuah kepantasan berpakaian dari tahun ke tahun mengalami perubahan. Konon, di era 50-60-an, ada betis perempuan tersingkap di film atau di majalah dapat membuat dada lelaki 'serrrrrr'. Di era 80-an, kalau cuma betis sih belum 'nendang'. Makin lama area tertutup di tubuh perempuan menjadi menyempit. Kelakar jayusnya, makin lama perempuan makin 'kurang bahan'. Ini terjadi akibat mekanisme pikiran, dimana suatu peristiwa yang menimbulkan gambar-suara-rasa tertentu akan disimpan di dalam memori dan menjadi acuan atau referensi bagi pengalaman selanjutnya. Kalau kemarin melihat gadis memakai rok mini bikin 'serrr', kalau pengalaman itu terjadi berulang-ulang sudah tidak menimbulkan rasa 'serrrr' lagi, karena sang rasa sudah diterima. Ada ekonomi ada the law of diminishing return. Jangankan soal ini. Hal yang salah jika dialami berulang-ulang lama-lama dianggap sebagai suatu yang benar. Korupsi yang dulunya salah, di kelompok tertentu justru dianggap sebagai kelaziman yang berlaku.
Itulah sebabnya, mengapa kita diminta oleh ajaran agama untuk menjaga pandangan mata, supaya tidak sempat 'mematikan' perasaan yang jati diri awalnya adalah early warning system bagi diri kita. Jujur saya akui, sangat sulit untuk menghindarkan mata dari menangkap sosok perempuan-perempuan 'kurang bahan' itu di public area. Hanya saja yang membedakan, ada yang mempertahankan kualitas dan durasi tatapan untuk menikmati kinestetik berupa rasa 'serrrrr', ada juga yang tersadar dan segera mengalihkan sensory-nya ke arah lain agar visual di layar bioskop pikiran berubah sehingga rasa (kinestetik)-pun ikut berubah menjadi lebih netral. Kalau saya sedang 'khilaf', maka titik 'kesadaran' saya agak 'lemot'. Sadar sih sadar, tapi durasi 'tidak sadar'-nya agak lama.
Keberkahan bulan ramadhan dan ibadah puasa adalah kesempatan saya berlatih untuk lebih sering dan lebih lama berada di 'kesadaran'. Maka, reaksi 'astaghfirullah' saya saat itu benar-benar muncul dari pikiran 'mengurangi nilai puasa' dan perasaan 'takut'. Beberapa waktu sebelumnya di status facebook, beberapa kali saya menyindir perempuan-perempuan berpakaian mini-ketat atas-bawah berkeliaran di area publik. Tentu saja perempuan-perempuan itu kemungkinan besar tidak tahu sindiran saya, tetapi saya berharap status-status saya menjadi provokasi bagi sahabat-sahabat facebook saya. Bahwa kalau ada mata jelalatan ke arah kita, introspeksi dulu, jangan-jangan kita memang menyediakan diri alias menjadikan diri kita layak dan pantas untuk dijelalati.
Kalau saya pernah menulis artikel berjudul 'Hormatilah Orang Yang Tidak Berpuasa', apakah itu termasuk menghormati perempuan-perempuan berpakaian mini-ketat ?. Saya jawab tegas : TIDAK... Karena perempuan-perempuan itu tidak menghormati konteks event ramadhan. Lho, tidak konsisten dong ?. Di sinilah konteks bermain. Ritual ibadah agama seyogyanya tidak menyusahkan orang lain. Maka ketika ramadhan, umat non-muslim yang biasanya makan di tempat 'biasa' menjadi ikut-ikutan 'menahan' atau sembunyi-sembunyi. Pedagang kecil penjaja makanan kehilangan pendapatan jika harus ditutup. Kalau itu MENYUSAHKAN mereka, maka silakan mereka menjalankan aktivitas untuk memenuhi KEBUTUHANnya seperti sedia kala. 'Kan yang dilatih tangguh dan saleh adalah yang berpuasa. Dalam prakteknya, saya yakin kedua pihak SALING menghormati, karena kedua pihak considerate (peduli terhadap kepentingan pihak lain). Bahasa NLP-nya 'ecological check' alias cek ekologis, yaitu apakah perilaku dan outcome kita selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan sekitar kita ?.
Soal pakaian yang dikenakan perempuan tadi bagaimana ?. Kalau dia considerate dan ekologis, lalu tidak mengenakan pakaian seperti itu dan mengenakan pakaian lain yang lebih 'tertutup' secara wajar dan menyimbolkan penghormatan kepada suasana ibadah puasa, apakah mampu dia lakukan ? ... Kalau mau dibawa ke soal HAM, apakah atas nama 'hak azasi manusia' boleh melakukan apa saja tanpa memperhatikan kepentingan orang lain?... Seandainya saja bisikan lembut saya sampai ke hati mereka : "Mbak, saya senang mbak berpakaian lebih tertutup untuk menghormati orang yang berpuasa, bukan untuk yang berpuasa, tapi lebih agar mbak juga dihormati, demi kemuliaan mbak, demi kemuliaan perempuan sendiri dan kemuliaan bangsa kita...***