Jangan cuma menuntut dosen enakARTIKEL
Jan 14, 2009 05:33 oleh Admin
"Kecuali anda, anda, dan anda -- saya menunjuk ke tiga orang mahasiswa karena sedari tadi mereka aktif menjawab dan bertanya -- saya ingin bertanya kepada yang lain", ujar saya.
"Bagaimana pendapat Anda mengenai (bla bla bla) ...... ?"
".............................", hening.
"Anda (saya menatap kepada seorang mahasiswi) ... bagaimana menurut anda ?"
" ...........................", sepi.
"Anda (saya mempersilakan mahasiswi lainnya) .. bagaimana menurut anda ?"
" ............................", sunyi.
"Apakah anda paham dengan maksud pertanyaan saya ?"
Para mahasiswa sebagian besar mengangguk.
"Kalau begitu saya bertanya dengan cara lain. Kalau ....(bla bla bla) .. bagaimana tindakan anda ?".
" ...................................", hening.
Saya segera mengakhiri sessi tadi karena memang waktu pelajaran habis. Emosi saya membajak pikiran saya. Saya perlu mengumpulkan power untuk kembali berkuasa atas perasaan saya sendiri.
Cukup lama saya duduk terdiam sambil introspeksi, apa yang membuat kali itu mahasiswa tidak menunjukkan keaktifan sama sekali. Apakah cara saya menerangkan yang 'ketinggian', atau justru 'terlalu cetek', atau ada 'pengkondisian' sedemikian rupa oleh pengajar dan metode belajar materi lain sehingga mahasiswa terprogram menjadi enggan bicara ? ... Sewaktu saya menjelaskan materi sih mereka 'trance' dan dari kalibrasi saya cukup 'menikmati'. Tapi pas ditanya, ibarat menggali sumur, saya ketemu dengan bebatuan cadas.
"Lha, supaya jelas tanya dong kepada mereka kenapa mereka begitu ?". Sebuah suara terdengar di telinga mental. Yaa bagaimana saya tahu apa yang ada di pikiran mereka, lha wong waktu saya tanya "apa yang terjadi yang anda rasakan yang membuat anda tidak menjawab pertanyaan saya ?", itu saja mereka diam.
Dalam beberapa kesempatan, saya sering dicurhati mahasiswa, kalau dosen ini atau dosen itu mengajarnya tidak enak. Yang kurang ini lah, yang terlalu itu lah. Biasanya, saya meneruskan informasi ini kepada pihak yang berwenang untuk mengevaluasi kinerja dosen.
Kalau mahasiswa punya tempat dan saluran untuk komplain dosennya tidak enak, lalu sekarang kalau saya mau komplain mahasiswanya tidak enak, saya harus kemana ?
"Lho, ya mahasiswa kan sudah membayar, jadi dosen yang tanggungjawab untuk melayani mereka mendapat ilmu dengan cara yang mereka senangi. Kan mereka customer ..", mungkin seseorang menyanggah saya seperti itu. Kalau ibarat dosen itu penjual dan mahasiswa adalah pembeli, 'kan W. Clement Stone sudah bilang, "Penjualan itu tergantung pada sikap penjualnya, bukan pada sikap prospek".
Hehehe, saya cuma berpikir, itu cara pandang jual beli -- transaksional. Customer model seperti itu tujuannya untuk 'mengkonsumsi' barang yang kita jual. Saya memilih pemahaman bahwa belajar bukanlah mengkonsumsi. Belajar adalah memproduksi. Belajar adalah transformasi. Belajar adalah berubah. Mereka datang ke kampus untuk mendapat ilmu bukan untuk dikonsumsi -- apalagi sampai tuwok kata orang Jawa --, melainkan untuk direproduksi menjadi pengetahuan, gagasan, dan rencana tindakan. Lebih jauh lagi, mereka belajar untuk menjadi apa dan bagaimana. Dosen tugasnya memfasilitasi mereka memproduksi apa yang mereka butuhkan dan bertransformasi menjadi apa yang mereka inginkan. Jadi, kalau mereka tidak mau difasilitasi, ya sudah, itu tanggungjawab mereka sendiri.
Kalau saya jadi mahasiswa, kalau saya menuntut harus mendapat dosen yang enak, maka saya juga mengharuskan diri saya sendiri menjadi menjadi mahasiswa yang enak.
"Alaaah, pakai sok proaktif ala seven habits. Emang dulu waktu kamu masih mahasiswa, mikirnya kayak gitu ? Itu kan karena sekarang kamu lagi bete gara-gara kelakuan mahasiswa itu tadi kan. Lagipula, mereka sadar nggak tujuan mereka belajar?. Mereka paham nggak kalau belajar itu mereproduksi dan bertransformasi ?", sang suara bilang begitu.
Keengganan atau penolakan seseorang, penyebabnya pasti karena belum terciptanya 'hubungan' yang baik. Saya menduga, masalahnya adalah mereka masih tidak merasa nyaman untuk bicara. Kalau saja saya bisa menciptakan suasana dan 'cuaca' yang membuat mereka nyaman bicara, tentu kejadiannya tidak seperti yang saya alami tadi. "Resistance indicates the lack of rapport", begitu Judith de Lozier mengajarkan.
Yang pasti di ujung perenungan, saya menetapkan yang salah adalah cara komunikasi saya yang tidak manjur untuk membuat para mahasiswa 'bicara', lalu memutuskan yang perlu memperbaiki diri adalah diri saya sendiri, dengan menemukan cara jitu bagaimana membuat mereka nanti mau 'bicara'. Satu lagi, saya berasumsi para mahasiswa itu hanya belum terbiasa saja. Maklum, mungkin selama SMA, ibarat koper, isi otak mereka diisi oleh tumpukan-tumpukan materi yang dijejalkan oleh pekerja pendidikan yang sedang mengejar pemenuhan target silabus. Saya bilang 'pekerja pendidikan' karena di kacamata saya berbeda dengan 'guru'. Sama dengan saya membedakan pekerja seni dan seniman. Saya bisa merasakan mana yang transaksional, dan mana yang transformasional.
Lamunan saya pecah karena sekretaris saya Inna masuk ruangan membawa segelas kopi ginseng panas.
"Pap, kopi ... dari Bang Daus ..."
"Sruuppppp ..... hmmm .... makasih, Na."...***