Jangan ngotot dengan teori di bukuARTIKEL
Dec 15, 2007 03:39 oleh Admin
Persis di depan saya ada sebuah mobil yang berjalan di belakang sebuah truk semen yang berjalan lambat. Truk, mobil itu, dan saya sedang berjalan di lajur kanan. Mobil itu membunyikan klakson sambil menyalakan lampu dim berkali-kali. Ia rupanya minta jalan dan ngotot truk semen itu berpindah ke lajur kiri karena ia ingin menyalib.
Saya paham maksud dari mobil di depan saya tadi. Sayapun juga kerap melakukan 'intimidasi' kepada mobil yang berjalan lambat di lajur kanan. Kalau emosi saya sedang membajak pikiran saya, seringkali saya mengumpat mobil depan saya dalam hati sebagai mobil tidak tahu aturan. Yang namanya menyalib itu ya dari kanan. Kalau mau berjalan lambat ya di sebelah kiri biar tidak menghambat mobil lain yang lajunya lebih cepat. Mobil depan berjalan lambat di lajur paling kanan buat saya lebih menyebalkan daripada mobil yang menyerobot dari badan jalan sebelah kiri. Dalam reframing saya (reframing = penafsiran dari sisi yang bermanfaat), bisa saja saya mengubah arti bahwa mobil yang menyerobot dari kiri di kala macet tadi adalah mobil pasien atau dokter yang sedang buru-buru ke rumah sakit (kecuali angkot). Tapi mobil yang berjalan lambat di sebelah kanan di-reframe apa ya ? Sang pengemudi mobil tidak terampil atau takut ngebut ? Kalau memang begitu, semestinya ia berjalan di lajur lebih kiri.
Dalam beberapa kesempatan contoh mobil yang berjalan lambat di lajur kanan ini saya sertai dengan dogma agama : "tidak akan diterima ibadah seseorang apabila seseorang itu mengganggu tetangganya", dimana tafsir tetangga itu tidak harus tetangga sebelah rumah, tetapi orang lain yang berdekatan dengan kita. Pak Widodo, kolega saya yang anggota TNI mengatakan seandainya saya bisa mengajar para anggota TNI dengan ajaran dan contoh tadi, mungkin sangat bagus karena katanya banyak anggota TNI yang berjalan lambat di jalur kanan (siapa yang berani mengklakson mobil tentara ?). Sambil bercanda saya bilang, begitu saya selesai mengajar di lembaga Bapak, di tempat parkir ban mobil saya sudah kempes (inipun sebenarnya kelakar yang terjebak persepsi).
Kembali ke mobil di belakang truk semen tadi. Setelah puas melihat kelakuan mobil tadi, saya langsung melihat ke spion kiri -- aman -- lalu menyalib mobil dan truk semen tadi dari kiri. Lho? kok malah menyalib dari kiri ? Bukankah itu tidak sesuai dengan aturan lalu lintas ?. Nah, inilah mengapa kita tidak boleh menggunakan teori dari buku saja. Pahami juga situasi lapangan untuk menjustifikasi hal-hal yang tidak diajarkan di buku. Memang benar menurut teori aturan lalu lintas menyalib harus dari kanan, tidak boleh dari kiri. Tapi kebetulan saya tahu 'teori lapangan' atau 'aturan tidak tertulis' yang mungkin saja tidak diketahui oleh mobil di belakang truk semen tadi. Tapi syaratnya tetap harus tahu teori yang benarnya dulu. Sebab, kalau hanya mengandalkan pengalaman lapangan, nanti di tempat dimana teori yang benar bisa dan harus diterapkan, kita masih menggunakan teori lapangan tadi.
Sebentar ... Anda tahu dimana saya berada ? Benar, saya sedang ada di jalur Pantura dari Jakarta menuju Semarang ...***
Catatan : Di Pantura, kendaraan besar seperti truk dan bis default-nya di jalur kanan karena kalau di jalur kiri malah lebih membahayakan.