Kabar Buruk benar-benar Buruk ?ARTIKEL
Jan 10, 2011 06:38 oleh Admin
"Tingggggg!", blackberry saya berbunyi.
"Hallo Mas Prass ... mau nanya sesuatu nih .. boleh ?", begitu tulisan berita blackberry messenger dari sahabat di Pekanbaru yang berprofesi sebagai dokter.
"Boleeeehhh...", jawab saya singkat.
"Bagaimana cara yang efektif menyampaikan kabar buruk tanpa menjatuhkan mental orang yang menerima kabar buruk tersebut mas ? Karena kabar kali ini adalah kabar buruk kedua lainnya yang bakal dia terima kenyataannya, yaitu dia tidak lulus untuk memperoleh kursi sebagai calon pegawai negeri sipil ...", tanya dr. Abi, sahabat saya itu.
Kali itu 'mood' saya untuk memprovokasi sedang bagus.
"Yang menamakan hal itu 'kabar buruk' siapa ya ?", tanya saya.
"Secara umum, memang kabar itu 'kabar buruk' karena yang disampaikan nggak ada bagus-bagusnya ..", jawabnya. "Hmmm .. mas Prass mau menggiring saya ke arah 'negative motivation' ya ?", lanjutnya.
"Apa bagusnya tidak lulus CPNS ?", tanya saya.
"Bagusnya .. ? .. ya bisa mencoba peluang lain ...", jawabnya.
"Saya punya teman yang ketinggalan pesawat ... Dia bilang kabar buruk !. Dua jam kemudian pesawat itu jatuh di Berastagi. Semua penumpangnya tewas. Dua jam kemudian 'kabar buruk' itu menjadi 'kabar baik'. Dia sangka musibah, ternyata penyelamatan ... Ini real story ...", ujar saya.
"Iya mas ... saya juga membaca kisah itu di buku PROVOKASI mas Prass ...", jawabnya.
"Mas menyangka tidak lulus CPNS itu kabar buruk. Siapa tahu itu sebenarnya kabar baik ?", pancing saya. "Jangan-jangan misi hidup dia yang sesungguhnya bukan menjadi CPNS ?"
"Jadi sebaiknya bagaimana cara menyampaikannya ?", tanya dia lagi.
Saya sebenarnya ingin 'mengacak-acak' dulu mindset dia terlebih dahulu karena justru teman saya itu yang duluan menamakan berita itu sebagai 'kabar buruk'.
"Tidak ada orang yang suka mendengar kabar buruk. Lha, kalau mas Abi sendiri sudah bilang itu kabar buruk, lantas mau dibungkus apapun, tetap saja yang sampai adalah 'kabar buruk' dan tidak disukai ..", jawab saya. "Yang membikin buruk itu 'kan arti yang diberikan sendiri oleh yang mendengar berita itu. Jadi biarkan dia bertanggungjawab atas arti yang dia berikan sendiri kepada sebuah berita dan peristiwa, juga bertanggungjawab atas perasaan-perasaan yang muncul akibat arti yang ia berikan sendiri tersebut .."
"Lantas yang 'ideal' dilakukan saat sekarang apa dong mas ?", kejar dia.
"Tanyakan saja dulu, seandainya dia nggak lulus CPNS, bagaimana sikap dia ... Dari situ 'kan mas Abi akan paham apa arti yang ia berikan kepada berita itu ... Barulah setelah itu mas Abi bisa tahu cara menyampaikan yang lebih netral dan membangun dirinya itu yang bagaimana ...", jawab saya.
"Iya juga ... Nggak terpikirkan sama saya ... that's something new for me ...", jawabnya.
"Jadi tadi mas Abi kan bermain dengan pikiran sendiri ? ... hehehe ...", ledek saya.
"Iyaaaa ... mungkin kabar buruk itu saya sendiri yang menciptakannya, karena saya sebenarnya berharap besar dia lulus CPNS. Jadi sebenarnya saya yang menciptakan aura dan suasana seperti itu dan seolah-olah dia juga menanggapi dengan cara yang serupa ...", jawabnya. "Maklum mas, terbawa cara menyampaikan prognosis ke pasien tentang penyakitnya ...".
"Hehehehe ...", respon saya.
"Mas Prass angkat saja topik "kabar buruk apakah benar-benar buruk?" di siaran PROVOKASI. Pasti seru !. Nanti saya ikut SMS menanyakan yang aneh-aneh biar mas Prass berat mikirnya ..", jawabnya.
"Hehehee ... maksudnya 'berat' buat anda 'kan ?", kilik saya.
"Wkwkwkwk ... i'm playing with my own thought again ....", jawabnya ***