"L" Air Mental Fitness CenterARTIKEL

Jul 04, 2009 10:42 oleh Admin

"Mas, minta di lorong ya ..", pinta saya kepada petugas maskapai penerbangan "L" Air di konter check-in Bandara Adi Sucipto Yogyakarta. Suara saya yang mantap ditambah anggukan sang petugas membuat saya ayem mendapatkan posisi duduk yang saya inginkan.

Proses check-in berlangsung cepat. Saya menerima boarding pass dari secarik kertas putih dan melihat nomor kursi saya 19A, lalu langsung mengantonginya.

Waktu masih sejam lagi untuk boarding. Saya membawa buku NLP in Action karya Pak Wiwoho untuk me-refresh pengetahuan NLP saya. Sejak awal masuk ruang tunggu, saya punya feeling kali ini pesawat akan delay. Entah dari mana intuisi itu datang.

Benar ! ... Suara wanita yang lembut dan renyah mengabarkan pesawat ke Jakarta ditunda 1,5 jam. Untung buku Pak Wiwoho menemani saya. Saya segera keluar ruang tunggu, dan nongkrong di sebuah kafe sambil menyeruput teh poci.

Singkat cerita, setelah waktunya tiba, saya beranjak ke pesawat. Saya lihat label yang menempel di bagasi kabin, ternyata kursi saya ada di dekat jendela, bukan di lorong seperti yang saya minta. Meskipun sedikit kecewa, tapi karena boarding pass sudah tidak diubah lagi, saya menerima saja kenyataan ini. Sekali lagi, saya punya feeling tempat duduk saya sudah ada yang menempati. Benar ! ... Seorang bapak-bapak dengan wajah datar telah menduduki hak kursi saya.

"Bapak nomor berapa ?", tanya saya kepada bapak-bapak tadi.
"Saya di tengah, tapi saya sudah di sini, silakan ...", kata si bapak dengan wajah optimis sambil tangannya menyilakan saya duduk di posisi tengah yang seharusnya ia tempati.

Melihat adanya pelanggaran hak, amarah saya muncul. Bukannya minta izin, malah ngatur saya, begitu pikir saya. Persis seperti saya marah melihat mobil pribadi nyelonong di jalur busway dan menghalangi hak penumpang bus TransJakarta untuk cepat. Tapi kali itu ada mekanisme bawah sadar saya yang bekerja cepat memprogram saya untuk diam dan memasang wajah tidak senang saja. Hal ini karena posisi duduk pinggir jendela ataupun tengah sama-sama posisi yang tidak saya kehendaki semula. Lain halnya kalau yang direbut adalah kursi di pinggir lorong sebagaimana yang saya minta, maka saya mungkin lebih fight. Bagi bapak ini, menempati tempat saya bukanlah sesuatu yang 'masalah besar', bahkan mungkin tidak dia anggap salah. Saya bertekad, kalau bapak-bapak itu 'sok akrab', saya memutuskan akan tidak terlalu 'pacing'.

Saya kemudian tersadar untuk tidak larut dalam ketidaksenangan itu. Marah sih tetap marah, tapi ada suara yang mengatakan, siapa tahu posisi duduk di tengah itu lebih 'berkah'. Who knows? .. toh saya juga tidak memperjuangkan kursi 19A karena buat saya tidak terlalu 'worth'.

Brukkkk ! ... lha ? .. meja makan di belakang kursi depan saya terbuka. Ternyata kaitnya sudah kendor, sehingga beberapa kali saya lipat kembali tetap tidak bisa. Saya memanggil pramugari dan minta karet atau pengikat. Tunggu punya tunggu, apa yang saya minta tidak kunjung datang. Akhirnya, dengan semangat praja muda karana, dan memodel tokoh film "Mc Gyver", saya segera mencari-cari benda apa yang bisa saya gunakan untuk mengganjal meja lipat ini.

Aaaahh ..! .. saya lalu mengambil karton informasi berisi doa. Kartonnya tebal. Saya lipat tiga, lalu saya selipkan di antara kunci pengait, sehingga posisi karton terlipat itu seperti 'kepanjangan tangan' dari pengait. Problem had solved.

Sampai di Bandara Soekarno Hatta, saya berdiri di depan tempat pengambilan bagasi. Lama sekali barang-barang tidak kunjung muncul. Setelah lebih dari 15 menit, petugas "L" Air datang dan memberitahu bahwa barang masih di pesawat karena ada kesulitan membuka kompartemen. Setelah tigapuluh menit, akhirnya barang saya datang juga.

Hari itu saya sudah latihan beban di "L" Air mental fitness center. Ada rasa sakit dan lelah, tapi setelah itu mental saya merasa segar ...***