Lebih Menyesal Mana ?ARTIKEL
Jul 04, 2010 06:58 oleh Admin
Eka Raqueen, seorang Smart Listeners (pendengar radio Smart FM) 'senior -- karena ia sudah mendengarkan Smart FM sejak kuliah -- saya tawari untuk menemani siaran PROVOKASI. Saya tidak tahu bagaimana persisnya perasaan dia, tapi dari hasil kalibrasi singkat saya duga ia gembira bukan kepalang. Kamis malam itu ia sengaja datang ke Smart FM untuk menemui saya karena sudah lama ingin bertemu.
Ia gemar sekali 'menggauli' orang-orang yang ia anggap bisa dijadikan mentor kehidupannya. Menurut pengakuannya, nama saya termasuk salah satu yang ia tempel di dinding kamar untuk ditemui. Nama lainnya adalah Mario Teguh dan impian itu sudah terwujud.
Ketika ia mengabari kerabatnya pernah chatting melalui blackberry messenger dengan saya, kerabatnya itu malah tidak percaya dan mengira yang melayani Eka bukan saya, melainkan asisten saya. Saya memang pernah punya manajer, tetapi soal chatting, tidak saya serahkan kepadanya.
Saya pernah tanya, apa cita-citanya ? Ia jawab, menjadi motivator perempuan termuda. Saya mengangguk-angguk dalam hati -- tentu otomatis kepala saya juga mengangguk-angguk.
Sehari sebelum siaran, ia mengirim pesan BBM, "Pak saya takut ..., hehehe ..."
Seperti sudah otomatis, saya langsung melakukan meta model, yaitu mengurai persepsi yang ada di kepalanya karena terjadi generalisation, distortion, atau deletion saat melihat suatu perkara, yang berakibat menimbulkan perasaan takut itu.
"Takut apa ?", tanya saya.
"Takut .. kan baru pertamakali siaran pak. Takut salah bicara... Pak, Provokasi'in saya dong biar berani ...?", katanya.
Sejenak saya 'menerawang' apa yang ada di balik pikiran Eka untuk minta provokasi. Saya lihat ia tidak punya masalah apa-apa selain fenomena alamiah berupa 'grogi' untuk hal kali pertama. Apalagi di pesan pertama ia menulis 'hehehe...'.
"Lebih menyesal mana Ka, datang siaran dan salah bicara, atau tidak datang dan melewatkan kesempatan ini ?" ...
Pertanyaan saya ini memaksa ia untuk masuk ke dalam dirinya sendiri, lantas tidak lama kemudian ia menjawab : "Oke .... Saya akan gunakan kesempatan ini ... Saya tidak pernah menyangka akan hal ini saya alami ... ".
Meskipun saya melihat 'penderitaan' ia mulai saat datang ke studio dengan tangan dingin, deg-degan, tegang, tapi detik demi detik mengantarkannya kepada pengalaman yang saya lihat ia nikmati sekali. Beberapa kali ia bicara, ternyata isi bicaranya bermutu dan pas dengan content dan konsep siaran. Ternyata ia bisa.
Selesai siaran, wajahnya sumringah. "Dulu saya mendengar Smart FM, sekarang saya tidak menyangka berada di ruang studionya ...".***