Menafsirkan tafsirARTIKEL

May 25, 2009 03:21 oleh Admin

Anjing, babi, monyet, kampret.

Itulah kata-kata yang saya tulis di status facebook. Apa yang melatari saya membuat status itu ? .. Hmm .. nanti saja saya jelaskan. Yang jelas, dalam hitungan detik ada bunyi 'krwenggg' di Blackberry saya. Itu tandanya ada notification di facebook. Setelah itu -- seperti yang saya duga -- suara itu lebih sering berbunyi lagi.

Komentar teman-teman jemaah alfesbukiyah sangat beragam-ragam.

"????? Lagi ngafal nama2 binatang, atau ..??" adalah komentar perdana yang muncul. Sang teman ini belum melakukan penyimpulan. Ia masih mengumpulkan informasi karena ia mafhum ada banyak kemungkinan maksud dari status saya tadi. Begitu juga komentar yang berbunyi, "Maksudnya Pak ?".

"nama2 binatang yang lucu deh kalo dibuat kartunnya..". Komentar ini meluncur dari seseorang yang tidak peduli apa maksud saya yang sebenarnya, tapi dia gunakan sebagai sumber daya untuk membangun image yang menyenangkan untuk dirinya.

"jd inget kapten haddock ...temennya tintin..;P". Teman saya ini langsung menghubungkan kata-kata saya dengan makian seorang tokoh kartun yang suka mengeluarkan sumpah serapah kalau sedang bete, tapi saya tidak tahu apakah teman saya itu yang dibayangkan adalah Kapten Haddock, atau saya yang sedang mengeluarkan sumpah serapah.

"ealaaaaahhhhh,,,, no koment dech". Ini komentar orang yang tidak menyangka ada kata-kata itu di status facebook.

"Kenapa pak? Wah.. Parah kata2nya..". Nah, ini sudah jelas 'tuduhannya', meskipun dibungkus dalam kalimat tanya, sebab dihubungkan dengan kalimat berikutnya. Kata-kata status saya yang netral kemudian dihakimi sebagai kata-kata parah plus diberi muatan emosi tertentu di dalamnya. Si kata-kata jadi terhakimi. Sama dengan flu babi yang menurut Departemen Kesehatan RI tidak ada hubungannya dengan babi. Makanya Depkes mengubah istilahnya menjadi swine flu. Kasihan babi namanya tercemar, begitusalah seorang direktur di Depkes.

"pasti abis serempetan ya?". Nah, ini sudah jelas menuduh bukan ?. Sudah tafsirnya tidak sama dengan kenyataannya (dalam bahasa subjektif, saya beri nama : keliru), malah dia menciptakan fiksi lainnya.

"Itu nama* hewan...(kcuali kampret)". Nah, ini awalnya benar, yaitu nama-nama hewan. tapi
ia belum tahu bahwa kampret itu adalah nama slank dari kelelawar.

"Cuman kampret yang di keluarga ku nggak ada??? kamu mau jadi ..kowe gelem jd keluarga ku??". Teman saya ini langsung menggunakan status saya sebagai sumber daya untuk bercanda, dan menurut saya ia cukup cerdas untuk bercanda. Tingkat berpikir yang lebih tinggi dalam humor.

"Pak Prasetya ini luar biasa, ternyata sangat mencintai binatang , bukan begitu pak?
try to Be positif ....". Ini adalah komentar teman yang menyodorkan proposal reframing kepada saya atau kepada dirinya sendiri, tapi terasa ada gambaran di pikirannya bahwa diri saya sedang 'negatif'.

Lalu apakah tafsir teman-teman saya itu dalam bentuk komentar benar atau salah ? ... Lha, saya ini malah sedang menafsirkan tafsir teman-teman saya. Sekali lagi, tafsir saya atas tafsir mereka-pun tidak luput dari ketidaksesuaian antara apa yang saya lihat di peta pikiran saya sendiri dengan peta pikiran mereka. Dengan kata lain, tidak jelas betul persepsi-persepsi yang terjadi berikutnya. Dan tindakan kita berasal dari persepsi-persepsi yang tidak jelas kebenarannya itu.

Yang benar, saya sedang 'iseng' ingin tahu respon teman-teman facebook kalau saya menulis nama-nama binatang yang menjadi 'carrier' penyakit, karena saya baru saja memberi pelatihan di Direktorat Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang, Departemen Kesehatan RI.

Yang tahu maksud sebenarnya dari status itu hanyalah saya dan Tuhan, tapi hidup kita dibisingkan, di-tek-tok-an, dan diombang-ambingkan oleh pemahaman-pemahaman yang 'berayun-anyun', 'ngambang', fragile, kebenaran subjektif. Bayangkan persepsi-persepsi yang lahir, keyakinan-keyakinan yang terbentuk, dari hanya dengan membaca headline di koran, sepenggal kalimat yang diucapkan oleh acara gosip di televisi, bisik-bisik dari tetangga ?. Dan kita akan mengalami dari apa yang kita yakini, meskipun keyakinan itu terbangun dari ilusi yang fiktif.

Jadi, yang bikin hidup kita ribet siapa ? ***