Mind ManagementARTIKEL
Mar 02, 2009 07:11 oleh Admin
Meskipun saya tahu sinetron itu adalah sansak omelan saya kalau cerita dan adegannya jauh dari masuk akal, setiap menonton sinetron di bagian akhir setiap episode, kalau saya 'terlarut' dengan cerita sebelumnya, pasti ada perasaan 'halahhhhh ... bersambung lagi ..'. Rasanya ingin segera tahu nasib si protagonis yang teraniaya, atau apa yang akan dilakukan oleh sang antagonis itu terhadap si teraniaya tadi. Kalau ceritanya seru dan 'nanggung', maka 'penderitaan' karena tidak dapat memuaskan keinginan sang pikiran terhadap jawaban menjadi makin terperi.
Lain waktu saya menyaksikan bagaimana emosi sepupu saya diaduk-aduk keras oleh sebuah sinetron. Ia 'mendiskusikan' nasib si tokoh-tokoh di sinetron itu dengan ibu saya. Sebenarnya lebih tepatnya 'bergunjing''.
"Iiih .. rasain tuh si anu, jahat sih .."
"Harusnya dia bongkar aja rahasianya, biar ketauan kedoknya .."
Saya merasakan seolah-olah apa yang dibincangkan mereka adalah nasib orang-orang yang 'dekat' dengan mereka. Seolah-olah orang yang dibicarakan itu tetangga mereka. Seolah-olah cerita dan orang-orang itu NYATA. Padahal, apa yang mereka bicarakan adalah 'barang' fiktif. Pikiran tidak membedakan mana kenyataan mana fiksi. Ketika emosi terlibat, maka apa yang seseorang 'lihat' bisa masuk ke memorinya lebih dalam dan permanen, memprogram cara berpikir dia. Lihatlah kedua kalimat yang keluar dari mulut mereka yang menunjukkan pola berpikir dia terhadap (atau malah akibat) sinetron tadi. Tidak ada nilai-nilai memaafkan menyikapi kesalahan sang antagonis -- sebagaimana keluhuran budi yang diharapkan oleh Sang Pencipta untuk menjadi manusia mulia.
Kebanyakan hidup kita menderita oleh pikiran kita sendiri -- oleh keinginan kita sendiri. Saya pernah menyaksikan ekspresi kecewa maha berat dari seorang peserta kuis, karena dia gagal mendapatkan ratusan juga rupiah dan 'jatuh' ke titik aman ketiga yang nilainya puluhan juta rupiah. Padahal, dia datang ke studio itu tanpa mengeluarkan sepeserpun -- ya ada sih, ongkos transportasi plus modal beli baju dan dandan-- lalu mendapatkan puluhan juta rupiah, tapi masih kecewa dan menderita juga !.
Suatu hari saya berada di tengah rombongan teman-teman kantor yang sedang piknik ke daerah Garut. Bis berhenti di depan sederet toko jaket kulit. Karena seluruh penumpang turun, sayapun ikut turun. Saya tiba di sebuah kios yang memajang jaket-jaket kulit yang ciamik. Pandangan saya tertuju ke sebuah jaket yang membuat saya langsung tergiur memilikinya.
"Berapa nih a' ...?" tanya saya.
"Empat ratus ribu", sodor si aa' penjual.
"Wah, duaratus limapuluh ya" ... tawar saya.
"Nggak bisa a', tigaratuslimapuluh ...."
Saya tetap bertahan di angka 250 ribu. Sementara, si aa terus menurunkan offering price-nya. Sampai akhirnya si aa mematok final price Rp 285 ribu, dan saya di posisi Rp 260 ribu.
"Jadi nggak boleh 260 ribu nih ?", tanya saya tegas.
"Wah, nggak bisa deh a, terakhir 285", kata si penjual.
Akhirnya saya ngeloyor pergi menuju bis. Menjelang keberangkatan ke Jakarta, teman saya Slamet Sudarsono yang sedari tadi bersama saya tampak tidak habis pikir dengan tindakan saya, lalu mencoba memprovokasi saya.
"Mas, nggak jadi ngambil jaketnya ?", tanya Mas Slamet.
"Nggak .. dia nggak mau 260, mintanya 285", kata saya.
"Nggak nyesel mas ? .. cuma tinggal 25 ribu lagi lho .. di Jakarta harganya bisa 350-an".
"Nggak ..", jawab saya.
"Kok nggak nyesel ?", tanya dia keheranan.
"Gampang ... hilangkan saja keinginan beli jaket ..", jawab saya datar.
"Lho, kok gitu ?", tanya dia lagi.
"Tadi saya tidak punya keinginan untuk beli jaket, lalu lihat ada jaket bagus, lalu seketika muncul keinginan memiliki jaket itu. Kalau keinginan itu tidak tercapai, ya tinggal dihilangkan saja seolah-olah seperti sedia kala, belum lihat jaket. Itu karena berarti jaket bukanlah sesuatu yang prioritas dan urgent karena tidak ada dalam rencana saya. Kalau saya menyesal, lalu terbayang-bayang si jaket, maka hidup saya setelah itu dibikin menderita bayangan 'seandainya saya punya jaket'. .. Saya beli jaket itu untuk membuat saya bahagia. Sekarang kalau saya bisa mengontrol pikiran saya sendiri, keinginan saya sendiri, lalu saya berhasil menyembuhkan 'kekurangan' saya akan want -- bukan need -- lalu saya bahagia tanpa jaket itu, apa bedanya ? ***