Musibah, atau diselamatkan ?ARTIKEL
Nov 11, 2007 08:32 oleh Admin
Pak Sukardi Pujo Hutomo, rekan sesama pimpinan anak perusahaan -- (persisnya senior saya karena sewaktu saya baru masuk Bumiputera sebagai clerk, beliau sudah Kepala Bagian) -- punya pengalaman yang mencerahkan. Sewaktu beliau menjadi Pemimpin Cabang Medan, beliau menghadiri Rapat Pimpinan di Jakarta. Setelah selesai rapim, beliau bermaksud pulang ke Medan hari itu. Entah bagaimana, rupanya terjadi miskomunikasi dengan petugas agen tiket. Tiket Garuda diterima terlambat, sehingga tidak mungkin lagi mengejar pesawat. Garuda-pun terbang ke Medan.
Saat itu Pak Sukardi sangat kecewa dan marah. Ini dianggap semacam kesialan pada hari itu. Beberapa jam kemudian terdengar berita di TV dan radio, pesawat yang harusnya ditumpangi Pak Sukardi jatuh dekat Medan dan menewaskan antara lain wartawan RCTI. Apa yang dialami semula dianggap sebagai kesialan, beberapa jam kemudian malah menjadi anugerah.
Kisah nyata ini memberi konfirmasi atas statement Allah dalam sebuah ayat, bahwa kalau kita dapat kesialan -- hal yang tidak kita inginkan, jangan buru-buru ngamuk, karena boleh jadi apa yang tidak kita suka itu sebenarnya baik untuk kita. Sebaliknya, apa yang kita benar-benar inginkan belum tentu baik buat kita.
Sial, rejeki, nasib baik, nasib buruk, itu hanya ada di peta mental yang kita reka sendiri di pikiran kita. Tapi peta bukanlah wilayah. Peta Jakarta bukanlah wilayah Jakarta. Peta cuma penggambaran dari sebentuk wilayah. Peta belum tentu tepat benar menggambarkan wilayah. Coba saja mencari suatu tempat di Jakarta dengan memakai peta Jakarta 30 tahun lalu, bisa jadi anda nyasar.
Menurut apa yang tergambar di peta mental kita anggap musibah, justru sebenarnya (wilayahnya) adalah 'penyelamatan'. Jadi kalau lama tidak dipromosi jabatan, jangan-jangan anda sedang 'diselamatkan'. Anda diberi kesempatan untuk memperbesar dan memperkuat otot-otot dan stamina kompetensi sebelum mengangkat beban yang lebih besar. Sebab, kalau anda paksakan mengangkat beban itu, yang anda alami justru musibah dan penderitaan.
Kalau saya belum diberi keturunan, bisa jadi sedang 'diselamatkan'. Boleh jadi saya masih diminta untuk menambah ilmu untuk menjadi orang tua dulu. Sebab, kalau dikasih sekarang, yang ada malah kerepotan yang teramat sangat. Proses mendidik dan membesarkan anak jadi amburadul. Anak itu tanggungjawab, bukan mainan, bukan boneka. Kalau saya sudah siap saya yakin akan diberi amanah. Kemungkinan lain, saya sedang diminta menjalankan suatu misi, yang kalau 'direcoki' dengan merawat anak, justru semuanya malah tidak tertangani. Anak pertama saya -- Raihan -- meninggal dalam usia tujuh bulan dalam kandungan. Empat bulan kemudian, ayah saya divonis menderita sirosis hati, dan selama empat tahun sebelum wafatnya ayah saya masuk rumah sakit lebih dari 20 kali. Sebagai anak tertua, saya diberi misi untuk merawat ayah saya dulu melalui sumber daya yang saya punya : tenaga, waktu, pengetahuan, dan finansial.
"Ahhh, itu kan excuse saja dari keadaan yang anda alami .. anda belum punya anak karena belum fokus saja, jadi belum sepenuhnya berusaha punya anak ...", mungkin anda mengatakan itu kepada saya. Jawab saya, "... anda mungkin benar. Tapi setidaknya cara pandang saya itu membuat saya hidup lebih tenang dan makin sayang sama Tuhan ... Terimakasih sudah mengingatkan saya untuk lebih fokus ...".