PrassARTIKEL
Nov 20, 2007 09:01 oleh Admin
Tulisan : Ana Mustamin (1999)
ADA banyak hal saya sukai pada diri Prass (nama lengkapnya Prasetya Maytrea Brata – entah kenapa ia selalu menulis nama kecilnya dengan huruf “s” yang dobel) – sahabat sekaligus partner kerja saya saat dulu tergabung dalam Tim Asistensi Direksi. Bukan karena ia selalu bisa mencairkan suasana saat kami stress di bawah tekanan deadline pekerjaan (Prass hobi lho memetik gitar dan menyanyi). Tapi juga karena ia demikian murah hati membagi ilmu. Pertama kali kami bertemu dan mulai bekerja sama, Prass baru saja lulus dari program MM-UI. Otaknya masih fresh banget. Dalam banyak kesempatan, ia menggenapkan pengetahuan saya tentang strategi korporat – karena di tempat saya belajar dulu, mata kuliah berkaitan dengan itu tidak pernah diajarkan.
Tapi, saya lebih menaruh respek pada Prass karena saya merasa ia salah seorang aset SDM perusahaan kami yang baik sekali. Prass demikian memahami dan sadar akan arti kompetensi inti (core compotence). Ketika ia baru bergabung di unit kerja saya, pimpinan kami, Pak Pri – sembari bercanda –‘mengompori’, "Prass, kamu akan menghadapi banyak rival di sini!" Dan dengan kalem, Prass menjawab, "Saya telah lama meninggalkan paradigma rivalitas! Saat ini saya penganut paradigma sinergi."
Prass kemudian cerita kalau ia sempat bicara tentang keunggulan saya di depan Pak Pri (Terima kasih, Prass! Mudah-mudahan kita tidak dijangkiti penyakit megalomania). Prass bilang, ia tidak akan pernah memasuki 'wilayah' orang lain. Setiap orang memiliki keunggulan dan kelemahan. "Keunggulan saya mungkin menjadi kelemahan orang lain, dan keunggulan orang lain mungkin menjadi kelemahan saya!" katanya. Saya memang lantas merasa, sebesar apa pun semangat saya melahap buku-buku Michael E.Porter, Gary Hamel atau C.K. Prahalad, saya tidak akan sebaik Prass dalam menjelaskan strategi dan keunggulan bersaing perusahaan. Demikian pula, Prass – saya kira – tidak akan memiliki perspektif sebaik cara pandang saya dalam menyikapi masalah-masalah yang berkaitan dengan disiplin ilmu dan pekerjaan saya. Ada semacam 'ideologi' membedakan – yang terbangun dan merasuk secara sadar atau tidak sadar, hasil kontemplasi antara latar kemampuan, minat, pengalaman, serta proses pembelajaran kami. Bahkan, andai saya dan Prass pun memilih jurusan sama di UI, kami pasti tidak akan pernah memiliki kompetensi inti yang sama.
Saya mengenal sebuah keluarga dimana ketiga anaknya dibekali talenta serupa, semuanya piawai menulis. Tapi si sulung berkali-kali memenangkan lomba penulisan ilmiah – ia selalu membahasakan gagasannya dengan runtut dan cermat. Sementara anak tengah memiliki kemampuan imajinasi dan kekayaan vocabulary mengagumkan – ia selalu saja menemukan terminologi atau jargon unik, jarang digunakan, namun justru memikat dalam tulisan-tulisannya. Ia dikenal sebagai cerpenis yang produktif. Adik mereka yang bontot, lebih menyukai menulis liputan tentang musik – seiring kegemarannya dalam bidang tersebut.
Orangtua mereka – yang sangat demokratis, mengaku tidak pernah mengarahkan – apalagi ‘membagi-bagi’ dunia anak-anaknya. “Ketiganya bisa menulis sama baiknya. Si sulung bukan tidak mampu menulis karya fiksi – beberapa media pernah juga memuat cerpennya. Tapi tetap saja ia merasa, adiknya akan menulis lebih baik di bidang ini. Mereka menyadari kompetensi masing-masing,” tutur sang Ayah. Ia tampak begitu bangga atas talenta ketiga anaknya, dan berupaya untuk menjaga keberbedaan mereka. Ya, kompetensi inti pada hakekatnya adalah distingtiveness, suatu keunikan.
Di perusahaan, kompetensi inti merupakan cerminan dedikasi dan disiplin pribadi yang tinggi dari karyawan untuk menguasai dan kemudian melaksanakan semua standard perusahaan. Kompetensi inti mencakup kemampuan SDM perusahaan untuk menghasilkan sinergisme jika bekerja dalam sebuah tim yang bersifat cross functional. Kompetensi inti merupakan gabungan dari semua keterampilan, pengalaman, dan kemampuan yang dimiliki oleh perusahaan.
Meskipun orientasi ke kompetensi inti sering dianggap cara konservatif bagi perusahaan untuk meraih dan mempertahankan keberhasilan, namun dibandingkan keunggulan lainnya, kompetensi inti tetap kunci utama. Competitive advantage yang berlandaskan kompetensi inti lebih aman dibanding harga atau mutu – karena keunggulan ini dibangun atas sejumlah kompetensi SDM. Perusahaan Amerika, AT&T, bahkan mengakui, mutu luar biasa dimulai dengan orang. Karena itu, rasa hormat kepada individu ditempatkan AT&T sebagai pilar utama dalam visi dan misi perusahaan mereka. “Kami saling memperlakukan antara satu dan lainnya dengan rasa hormat dan martabat, menghargai perbedaan … kami memberikan kepada individu wewenang menggunakan kemampuan mereka sampai sepenuh-penuhnya untuk memuaskan pelanggan. Lingkungan kami mendukung pertumbuhan pribadi dan kesempatan belajar terus-menerus bagi semua karyawan,” demikian antara lain bunyi Ikatan Bersama AT&T.
Sayang, tidak banyak individu yang mau mengakui kompetensi orang lain. Seolah-olah, jika memberikan pengakuan; ia sendiri akan kehilangan kompetensi. Apalagi jika orang tersebut sudah masuk dalam deretan pimpinan puncak. Bahwa pada akhirnya dia dituntut memahami semua persoalan organisasinya, itu tidak serta-merta membuat dia memiliki kompetensi pada semua bidang. Para manajer – sepiawai apapun, tetap membutuhkan staf dan karyawan dengan kompetensi inti berbeda-beda. Karena itu, kita perlu terus belajar menghargai perbedaan, menghargai keunggulan setiap orang – karyawan pada level paling bawah sekali pun.
Orang bijak bilang, if you live with tolerance, you learn to be patient. If you live with encouragement, you learn to be confident. If you live with praise, you learn to appreciate. Nggak percaya? Coba tanya sama Prass!***