Selesaikan berdua sajaARTIKEL
Jul 14, 2009 09:46 oleh Admin
"Kamu kok kayaknya mesra-mesra aja sama isterimu ? ... Nggak pernah konflik kayaknya ..", tanya teman saya.
"Siapa bilang ? ... pasti ada lah .. hanya saja semakin ke sini semakin mudah menyelesaikan konflik ..", jawab saya.
Cerita saya bertemu dan akhirnya menikah dengan isteri saya cukup unik -- bagi saya. Kami diperkenalkan oleh teman SMA. Saat itu saya masih kuliah di MM-UI, dan 'pas' kebetulan jomblo. Saya baru saja putus (lebih tepatnya diputusin) dengan seorang wanita yang menerima pinangan sahabat saya sendiri untuk menjadi isteri kedua sahabat saya itu.
Berbeda dengan kali sebelumnya, dimana kalau ada teman yang mau memperkenalkan saya, saya segera mengambil kuda-kuda dan persiapan yang membuat saya tampil prima. Dengan kata lain, saya akan jaim. Kali ini, saya sudah agak 'lelah' untuk jaim. Saya pikir, biarlah saya apa adanya, kalau frekuensinya atau rumus kimianya cocok, pasti terjadi reaksi. Kalau tidak, berpura-pura itu sangat melelahkan.
Kurang ajarnya, teman saya langsung meninggalkan kami berdua yang terpaku setelah saling diperkenalkan di Pasar Festival. Pandangan saya kali pertama mengirimkan gambaran yang mendorong self-talk keluar : 'hmm .. boleh juga nih ..". Setelah itu semuanya seperti mengalir begitu saja.
Seharian kami isi waktu dengan banyak berdiskusi. Hari kedua kami bertemu lagi dan obrolan kami mengarah kepada 'what if' .... Kami saling memberitahu definisi tentang cinta, hubungan, rumah tangga, masalah, konflik, dan seterusnya. Ternyata kok nyambung ... Akhirnya malam kedua kami bertemu, kami menyatakan 'jadian'. Alasannya, kalau visi sudah sama, buat apa lama-lama. Apalagi, lima hari lagi dia akan kembali ke California untuk kembali menyelesaikan masternya. Hari itu adalah minggu kedua dia liburan ke Jakarta.
Singkat cerita, long distance relationship setelah itu yang terjadi adalah mulai terkuaknya perbedaan-perbedaan, harapan-harapan, yang membuat situasi layak disebut 'konflik'. Mulai dari acceptance terhadap masa lalu kami masing-masing, menentukan konsep pertunangan dan pernikahan, sampai hal-hal kecil seperti nada yang kurang mesra karena kecapaian. Apalagi perbedaan waktu antara Indonesia dengan Amerika adalah siang dan malam.
Untung salah satu PR saya buat dia adalah "sebelum menikah, dia harus sudah khatam membaca buku Seven Habits of Highly Effective People karya Stephen R. Covey". Itu terjadi tahun 1997. Kami jadi melalui proses penyelesaian konflik dengan keyakinan bahwa yang terjadi adalah perbedaan paradigma dan persepsi akibat pengalaman masa lalu kami masing-masing, bermental berbagi, berusaha mengerti lebih dulu, dan sinergi kami nantinya justru akan kuat jika dibangun di atas perbedaan-perbedaan. Apa yang saya alami sesungguhnya itu memang tidak semulus kalau diceritakan di sini.
Setelah menikah, masih ada perbedaan soal kebiasaan hidup. Kadang-kadang dia ingin selalu bercerita soal masalahnya, saya pas juga punya masalah dan cenderung diam berpikir sendiri. Belum lagi kalau sms tidak cepat dibalas karena saya sedang mengerjakan sesuatu atau rapat. Anda pasti mengalaminya juga.
Proses itu kami lalui dan nikmati. Kami memrogram diri untuk tidak tergoda pada jalan pintas. Akhirnya sekarang, kami bukannya terbebas sama sekali dari masalah dan konflik, tetapi dengan cepat masalah itu kami selesaikan. Contoh yang jelas cukup 'berat' adalah ketika ia minta izin melanjutkan pendidikan S3 di Canberra Australia selama empat tahun, sementara kami belum memiliki anak, sementara usia kami sudah seputar kepala empat. Penyelesaian atas masalah itupun telah didapatkan.
Baru-baru saja, ia tiba-tiba meng-SMS saya merasa sedih setelah melihat foto yang saya upload ke facebook, dimana saya berfoto menggendong bayi seorang karyawati saya. Ia merasa saya sudah sangat menginginkan anak, tapi dia belum bisa 'memberinya'. Saya tidak membela diri atau menasehati untuk menggiring cara pandang dia (kembali) bahwa yang belum memberi kita anak bukan dia tetap Tuhan. Yang saya lakukan saat itu adalah segera menghapus kembali dan meminta maaf karena waktunya tidak tepat. Dia kebetulan memang akan menghadapi ujian terakhirnya. Saya perlu mendukungnya agar pikirannya fokus ke ujian. Itu lebih penting buat dia.
Ternyata, setelah saya runtut ke belakang, apa yang membuat kami sekarang lebih mudah saling mengerti dan cepat menyelesaikan masalah, maka jawabannya ketemu : kami selalu membicarakan masalah berdua saja, tidak ada orang lain. Memang untuk hal-hal yang berat, saya minta pendapat orang tua atau 'ahlinya'. Tapi bukan dalam semangat curhat, melainkan mencari suatu pandangan. Kami tidak melibatkan orang lain di dalam penyelesaian masalah kami. Hanya kami berdua.