Tantangan Mengelola OrangARTIKEL
Dec 16, 2007 10:06 oleh Admin
Seorang pegawai merasa gundah. Pasalnya, ia baru saja menyampaikan isi pikiran dan hatinya kepada atasannya. Pagi-pagi buta ia beranjak dari rumahnya ke kantor. Ia seperti berlari mengejar dan dikejar sesuatu. Ia mengejar supaya bisa tiba di kantornya tepat waktu. Paling tidak masih ada waktu sedikit buat sarapan. Ia juga dikejar oleh banyaknya penumpang yang rebutan bis yang kian sedikit saja jumlahnya. Belum lagi kalau jalanan macet atau bisnya mogok. Tempat duduk dan jalanan yang tiba-tiba lancar adalah barang langka, yang kalau ‘rejeki’ itu pas datang merupakan hiburan yang nikmat tiada tara.
Karena unit kerjanya mempunyai kesibukan yang tinggi, biasanya ia pulang habis magrib atau lebih malam lagi. Begitu hari-hari yang ia lewati, sehingga kebersamaan dengan keluarganya begitu singkat. Tidak ada tambahan uang lembur atas ‘kelebihan waktu’ yang diberikannya kepada perusahaan, sehingga penghasilannya hanyalah dari gaji yang sudah dipotong pajak dan hutang sana-sini. Ia kadang-kadang menahan lapar karena tidak makan siang, atau membawa ‘ompreng’ untuk dimakan separuh waktu pagi, dan sisanya dimakan waktu siang. Ia teringat harus menyisihkan uangnya untuk anak-anaknya bisa sekolah dan makan keluarganya sehari-hari ditengah harga-harga yang kian melambung.
Selama ini ia berusaha menjadi pegawai yang baik. Datang, bekerja dan pulang dengan tekun dan disiplin. Ia berharap sikapnya ditiru teman-temannya, sehingga perusahaan tempatnya bekerja menghasilkan keuntungan, minimal efisiensi, sehingga para karyawan bisa menikmati bonus atau insentif. Tapi tahun itu tidak ada insentif. Ia teringat salah seorang anaknya yang mau masuk SMA yang membutuhkan ‘uang pangkal’ untuk bisa melanjutkan sekolahnya. Bonus/Insentif tahunan yang sudah ‘dijagain’ ternyata lewat begitu saja.
Ketika ia menyampaikan kesulitannya kepada atasannya, sang atasan menasehati agar ia bekerja dengan loyal dan ikhlas karena bekerja adalah ibadah. Ia gundah. Ia merasa mendengar sesuatu yang tampaknya benar, tetapi merasa ada sesuatu yang ’salah’ dengan pengertian ibadah, ikhlas dan loyal yang dikemukakan atasannya tadi.
Kejadian di atas bukan cerita fiktif atau drama. Kejadian di atas benar-benar dialami oleh seorang pegawai di sekitar kita. Perusahaan menghadapi empat tantangan besar, yaitu bagaimana dirinya bisa berkembang menjadi perusahaan yang makin besar dan kuat, bagaimana Perusahaan bisa memuaskan dan menyenangkan konsumennya, bagaimana perusahaan bisa memuaskan para investornya, dan bagaimana perusahaan memuaskan para karyawannya.
Menurut sebagian besar ‘ulama’ bisnis dan manajemen, untuk bisa mencapai keempat-empatnya harus dimulai dari bagaimana memuaskan dan me-loyal-kan konsumennya. Karena konsumen yang loyal sebagai sumber pendapatan akan memperkuat ‘pundi-pundi’ perusahaan yang pada akhirnya akan memberi kesejahteraan kepada karyawan maupun investor.
Tapi bagaimana membuat konsumen puas dan loyal ? Stephen R. Covey dalam bukunya “The Seven Habits of Highly Effective People” menyebutkan “Anda harus memperlakukan karyawan anda persis seperti anda menginginkan ia memperlakukan pelanggan terbaik anda”. Rupanya untuk membuat konsumen puas dan loyal adalah dengan membuat karyawan puas dan loyal pula.
Dalam sebuah pendidikan manajerial di Yogyakarta baru-baru ini, salah seorang peserta bertanya, “Apa yang dimaksud dengan loyalitas karyawan ?”. Saya memaklumi beliau mengatakan begitu karena doktrin ‘loyal’, ‘ikhlas’ dan ‘ibadah’ di perusahaannya akhir-ahir ini begitu gencarnya. Saya menerangkannya justru dengan pengertian loyalitas konsumen. Bahwa konsumen yang loyal dihasilkan dari konsumen yang puas. Tapi konsumen yang puas saja tidak menjamin ia menjadi loyal. Mungkin saja ada seseorang yang puas menginap di suatu hotel, tetapi karena ada hotel lain yang menawarkan konsep yang ‘berbeda’, maka ia tergoda untuk berpindah ke hotel lain itu. Ia bukannya tidak puas dengan hotel lama, tetapi kebetulan ada hotel ‘baru’ yang menawarkan value yang lebih baik. Jadi untuk membuat konsumen loyal, ia harus terus disenangkan dengan ‘perceived value’ yang lebih ‘pas’ dibandingkan pesaing hingga ia menjadi loyal bahkan menjadi ‘advocate’ bagi perusahaan. Value disini tentu saja bukan terbatas pada benefit yang bersifat fisik dan material, tetapi termasuk yang bersifat emosional dan batiniah.
Begitu juga karyawan yang loyal, harus dimulai dari karyawan yang puas. Karena kepuasan ini letaknya di dalam ‘hati’, maka loyalitas tidak bisa disuruh atau diminta. Loyalitas harus diciptakan. Berikan mereka ‘value’ yang pas. Dan mengukur loyalitas dengan indikator tingkat drop-out karyawan tidak sepenuhnya tepat, karena kemungkinan mereka tidak mau hengkang dari perusahaan justru karena takut bersaing atau karena memang tidak laku di pasar tenaga kerja. Kalau mau mendapatkan informasi mengenai tingkat loyalitas karyawan di perusahaan, riset sumber daya manusia untuk mengukur tingkat kepuasan dan loyalitas perlu diadakan.
Membangun loyalitas karyawan juga harus diikuti dengan membangun kompetensi karyawan. Kalau karyawan loyal tetapi tidak tahu dan terampil bagaimana caranya melayani dan memuaskan konsumen, perusahaan juga rugi. Kalau karyawan loyal tapi perusahaan tidak bisa menyesuaikan diri dengan perubahan dan tuntutan lingkungan - apalagi kalau bisa mendikte lingkungannya - maka lama kelamaan perusahaan akan tersingkir dari arena bisnis.
Dalam era learning organization, tanggungjawab untuk mengembangkan manusia di dalam perusahaan bukan hanya terletak di tangan perusahaan. Karyawan juga bertanggungjawab. Perusahaan memandang karyawan sebagai konstituen inti penggerak perusahaan yang harus terus menerus dikembangkan melalui intellectual investment, karyawan memandang perusahaan sebagai ‘ladang’ untuk ditanami melalui produktivitas, sehingga ia bisa ‘menuai’ kesejahteraan lahir batin. Tetapi masing-masing tidak perlu saling menuduh mana yang harus duluan. Harus sama-sama. Ini seperti telur dan ayam. Cukuplah kita berpikir kalau punya telur bagaimana supaya telur itu menetas dan menjadi ayam yang sehat, dan kalau punya ayam bagaimana ayam itu kita buat sehat sehingga menghasilkan telur yang baik.
Sebenarnya atasan si pegawai tadi bisa saja tidak serta-merta memberi khotbah dan nasihat. Ia akan mendengarkan dengan aktif si pegawai dan meneguhkan perasaannya, lalu ia berusaha mengungkapkan pemikiran-pemikiran pegawai untuk memecahkan persoalan dirinya, baik yang menyangkut pribadi maupun perusahaan. ***