Terampil itu menghindarkan dosaARTIKEL
Feb 06, 2009 07:53 oleh Admin
Saya memberi tanda lampu dim kepada mobil di depan yang berjalan sangat lambat. Jalan dua jalur itu justru sebelah kiri lebih cepat daripada kanan. Padahal, kelaziman etika berlalu lintas, jalur kanan mustinya lebih cepat karena dipakai untuk menyalib. Karena sudah telanjur menyandang 'gelar' sebagai 'Mind Provocateur', sekalian saja saya jalankan 'identitas' saya itu.
Saya masih mengambil posisi di belakang sedan silver tadi. Beberapa mobil di belakang saya sudah dari tadi pindah ke jalur kiri dan tancap gas mendahului kami. Kembali jari tengah dan telunjuk saya menekan gagang lampu dim. Berkali-kali saya dim tetap tidak mau minggir. "Gila nih orang, kagak ngarti apa kalo jalur kanan buat cepat ?", kata saya dalam hati. Kalimat itu langsung diproses oleh otak saya dengan menghubungkannya ke memori yang berisi image pengalaman dan hal-hal yang menimbulkan perasaan-perasaan negatif. Dalam sepersekian detik, respon yang muncul tanpa intervensi kesadaran saya itu adalah makian 'geblekkkk', tapi dalam hati.
Saya melongok ke arah lebih depan. Jarak antara sedan ini dengan mobil depannya sangat jauh. "Busetttt .. orang ini bisa nyetir nggak sih ??" ... Gambaran dan kata-kata ini memicu kembali munculnya berbagai perasaan jengkel, lantas terakumulasi. Saya menekan klakson beberapa kali. Pada tekanan klakson terakhir, bunyi klakson mobil saya sudah ada muatan emosi marah. Bukan bunyi klakson persahabatan lagi. Sesuai dengan prosedur defense driving, setelah 'puas' mengintimidasi pengemudi sedan silver itu (persisnya hopeless), saya menoleh ke spion dalam, menghidupkan lampu sein kiri, melihat ke arah spion kiri, dan menyalib sedan silver itu dari kiri dan bergegas meninggalkan mobil 'terkutuk' itu. Saya melihat dari spion, jarak saya dengan mobil itu semakin jauh. Di belakang mobil itu masih banyak 'korban' kelambanan mobil itu.
Apakah saya berhasil memprovokasi mobil itu ? ... Sama sekali tidak. Mobil itu tidak beringsut sedikitpun baik jalur maupun kecepatannya. Yang terprovokasi adalah saya sendiri. Kemungkinan besar saya berdosa karena 'kalah' terbajak oleh emosi, sehingga melontarkan makian-makian dalam pikiran saya sendiri. Saya mengalami 'mental disorder' tadi.
Tapi apakah kekalahan saya itu merugikan ? .. Tidak bermanfaat ?. Kalau saya diam-diam saja, saya tentu saja rugi total. Maka, saya share kepada anda, bahwa berjalan di jalur paling kanan dengan kecepatan yang lebih lambat dari jalur kiri amat sangat menyusahkan orang lain.
"Sebentar .. anda harus tahu dong masalahnya kenapa orang itu ada di jalur kanan ..., nggak boleh berprasangka apa-apa dulu ... siapa tau dia mengira orang bisa bebas menyalib dia dari jalur kiri. Atau dia belum terampil mengemudi, jadi takut ngebut, atau dia bawa anak kecil sehingga jalannya pelan-pelan, atau apapun itu ... Lagipula kamu maki dia juga dia nggak dengar .. kamunya bisa berdosa memaki orang lain ... ?", mungkin anda bilang begitu.
Ooo .. jadi maksudnya saya disuruh 'biarin aja' ? .. Hmmm ... mungkin sekali saya berdosa ... Tapi buat apa saya perlu tahu kenapa orang itu lambat di jalur kanan ? Sama dengan buat apa saya perlu tahu kenapa seseorang korupsi. Kalaupun sudah dapat alasannya, tetap saja orang itu korupsi. Korupsi itu salah. Berjalan lambat di jalur kanan dalam konteks keadaan lalulintas yang seperti saya alami tadi itu salah.
Jadi dengan berusaha memahami, berempati -- atau kalau orang-orang NLP bilang perlu dilakukan reframing --, itu membuat saya jadi permisif dengan perilaku berkendara tadi ? Lain kali kalau ada kejadian serupa, saya cuekin mobil itu dan salib saja dari kiri. .... Kalau semua orang permisif, membiarkan perilaku seperti itu, kapan negeri ini jadi tertib dan berkah ?
Seandainya dia ternyata tidak tahu bahwa berjalan lambat di jalur kanan itu salah, pertanyaan saya, bagaimana caranya dia dapat SIM ? Bukankah sebelum ujian SIM seharusnya dia sudah baca-baca buku aturan dan etika berlalu lintas ? Kalau dia tidak tahu, itu sendiri sudah salah. SIM 'nembak' ? ... Ya mbok kalau 'nembak' -- yang berarti berhutang kompetensi -- dibayar dengan cara belajar lalu lintas setelah 'nembak' itu. Ngono yo ngono, ning ojo ngono orang Jawa bilang. Tidak terampil mengemudi kendaraan ? Pengemudi baru ? ...
Saya jadi dapat insight baru, bahwa ternyata kalau saya menerampilkan diri dalam hal apapun, selain saya 'selamat' mencapai tujuan, juga tidak mengganggu orang lain. Bayangkan kalau saya ini seekor kuda yang menarik sebuah kereta kencana bersama-sama sembilan teman-teman kuda lainnya, maka kecepatan kereta kencana bukan ditentukan oleh kuda yang paling cepat, tapi oleh kuda yang paling lambat. Nah, kalau kalau yang paling lambat itu saya, berarti gara-gara saya, kecepatan kereta kencana jadi lambat. Kuda yang harusnya cepat jadi frustrasi harus menyesuaikan kecepatannya dengan kemampuan berlari saya. Sebaliknya, kalau kesembilan kuda lainnya terampil berlari cepat, memaksa untuk berlari cepat dan mengabaikan saya, maka saya akhirnya seperti 'terseret-seret' dan 'numpang' power kuda-kuda lain. Bisa-bisa saya mati terseret. Apapun itu, ujung-ujungnya kecepatan kereta kencana tidak optimal. Inilah yang mungkin mendasari ajaran di defense driving, bahwa kalau kita mengemudi kendaraan di jalan yang lebarnya sulit untuk membuat mobil lain menyalib, maka hendaknya kecepatan mobil kita sama dengan kecepatan rata-rata kendaraan-kendaraan di depan. Jangan karena egois merasa punya power yang bersumber dari apapun, atau memakai 'name tag' sunday driver, lalu mengorbankan kepentingan orang lain.
Ya ya ya ... Rupanya, kalau saya terampil mengemudi, maka saya telah berjasa juga menghindarkan orang lain terjerumus dalam dosa karena memaki saya ...***