Turun ke bumi dongARTIKEL

Dec 19, 2007 04:41 oleh Admin

Selesai Imam mengucapkan salam pada saat sholat Iedul Adha, tidak ada satu menit, satu per satu beberapa jemaah berdiri dan beranjak meninggalkan mesjid. Jumlahnya cukup banyak, dan saya kira 90% berjenis kelamin perempuan.

Saya seratus persen memilih sangkaan bahwa jemaah perempuan itu TIDAK TAHU bahwa yang namanya Sholat Ied, baik Iedul Fitri maupun Iedul Adha, adalah satu paket dengan mendengar khotbah. Ibarat mandi, yang namanya mandi itu ya sabunan dan bilas. Bayangkan kalau anda keluar setelah sabunan tanpa bilas ?. Kalaupun jemaah itu tahu bahwa rukun sholat ied itu sampai khotbah selesai dan ia tetap beranjak pulang, sekali lagi saya memilih sangkaan ia harus buru-buru pulang karena hal-hal yang tidak bisa ditinggalkan (tapi apa ya ?). Perkara sholatnya diponten Allah bagus atau tidak, itu bukan bagian dari job description saya untuk menilai.

Saya tidak ingin membahas lebih lanjut perilaku jemaah yang seperti itu. Justru saya sedang mempertanyakan dalam hati, mengapa sang pengkhutbah asyik mengupas makna Hari Raya Qurban, tapi membiarkan perilaku jemaah yang terang-terangan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku ini. Kalau saya jadi khotib, saya pasti memberitahu hal-hal 'kecil' ini agar mereka tahu. Kalaupun sudah diberi tahu tapi mereka tetap nekat, ya sudah. Seseorang akan mendapatkan apa yang dikerjakannya sendiri.

Kalau kita menanam pohon pepaya maka yang membuat buah pepaya itu muncul di hadapan kita pengetahuan asal-usul, manfaat, dan filosofi pepaya, atau pengetahuan tentang tindakan menanam pepaya? Tentu saja yang kedua. Dan tentu saja setelah tahu, agar buahnya muncul, harus disusul dengan action. Biarpun anda sangat paham tentang teknik dan metodologi menanam pepaya yang paling the best, tapi anda tidak ambil cangkul, menggali, menanam biji, memupuk, dan menyiram tanaman pepaya, niscaya tidak ada yang namanya pepaya di hadapan anda (kecuali anda beli -- itupun suatu tindakan bukan ?).

Bagi saya, tentu bagus apabila khottib, da'i, ulama, ustadz, mengangkat tema-tema meningkatkan iman dan takwa. Yang sering, ide pokok khotbah yang tergambar adalah bahwa kita harus mengikuti perintahNya dan menjauhi laranganNya. Mengawang-awang. Tapi lebih bagus lagi langsung memberi tahu perilaku mana yang dikatakan mengikuti perintahNya dan menjauhi laranganNya, langsung ke keseharian kita.

Kalau bicara iman misalnya, ya bicara disiplin dan menghormati orang lain. Itu berarti langsung saja bicara soal antri, ikuti rambu lalu lintas, tidak menyerobot, kalau beli barang kantor kuitansi sesuai harga, tidak dinaik-naikkan, buang sampah di tempat sampah, merokok tidak di tempat khusus, bukan di bis atau restoran ber-AC, mematikan handphone waktu rapat, kencing disiram (ini saja kok masih harus diingatkan ?), dan perilaku-perilaku yang tampak dan faktual lainnya. Penjelasan tadi lengkap dengan latar belakang, dampak, tujuan, baru dasar ayat-hadits-nya. Dengan demikian akan jarang terdengar kata 'jangan', dan 'harus'.

Apa sebegitu 'parah'nya tingkat berpikir masyarakat kita, sehingga harus dituntun dengan jelas apa yang perlu dilakukan dan dihindarkan? Bukankah itu sama dengan menganggap masyarakat kita masih 'anak kecil' ? Hehehehe ... anda punya cara lain ?