YOU ARE NOT WHAT YOU FEELARTIKEL
May 31, 2017 01:00 oleh Admin
Iman naik-turun. Namanya membangun rutinitas baru, pasti akan berurusan dengan sang homeostatis. Suatu kali saya ingin merutinkan sholat Dhuha. Sang perasaan di alam bawah sadar bernama Sang Berat mendadak muncul. Sang Berat menarik saya dari beranjak berwudhu. Katanya, tanggung pekerjaan belum selesai. Enakan begini saja.
Dulu, Sang Berat saya bentak dan lawan. Istilahnya, melawan rasa malas. Saya mem-bully perasaan sendiri. Hasilnya saya jadi otoriter kepada diri saya sendiri. Pola serupa saya lakukan saat sang takut, sang malas, sang cemas, sang sedih, sang kecewa hadir. Otoriter ke dalam, tidak menimbulkan kedamaian ke luar. Semua proses inside-out.
Alih-alih demikian, kali itu saya ajak Sang Berat berdialog. Saya dengarkan maksud-maksud baik Sang Berat muncul. Saya ucapkan terimakasih kepadanya. Saya jelaskan mengapa saya ingin Sholat Dhuha. Lalu saya peluk ia -- accept and embrace -- sambil berjalan menuju tempat wudhu ditemani Sang Ikhlas yang saya minta hadir menemani. Kali itu Sang Berat masih merengek-rengek. Saya rayu ia, kita sholat 2 rakaat dulu. Ia setuju.
Selesai sholat dua rakaat, Sang Berat masih hadir. Sambil masih saya rangkul, saya ajak ia untuk shalat dua raka'at lagi. Selesai empat rakaat, tiba-tiba Sang Berat sudah kembali ke peraduannya, digantikan oleh Sang Nikmat yang hadir. Rupanya Sang Berat telah menyelesaikan tugasnya, memastikan saya berada pada arah dan jalan yang sesuai, appropriate. Kehadiran Sang Nikmat malah menggenapkan rakaat menjadi delapan.
Perasaan seperti alarm yang berbunyi. Ketika ia diterima dan pesannya telah diperhatikan, ia 'diam' lagi. Perasaan adalah instrumen hidup yang bertujuan membantu kehidupan kita. Namanya instrumen, kita yang kendalikan. Saat instrumen bekerja sesuai dengan tujuan kita, maka kita boleh biarkan ia mengendalikan perbuatan kita, bukan kemauan kita. Perasaan bukanlah kita. Perasaan juga adalah informasi untuk kita, bukan instruksi untuk melakukan sesuatu.
Karena perasaan kita bukanlah kita, maka keliru jika saya melihat anda malas lalu saya katakan anda pemalas; ketika melihat anda marah saya katakan anda pemarah. Kalau anda takut, bukan berarti anda penakut. Kalau anda marah, bukan berarti anda pemarah.
Maka hati-hati ketika mendapati anak malas sekolah lantas anda mengatakan, "Nak, sekarang kamu jadi pemalas!". Anda telah menafikan seluruh kebaikan dan kekuatan si anak, dan menciptakan realitas baru bahwa si anak hanya sebesar label 'pemalas'. Jika sampai identitas ini ter-imprint di bawah sadarnya, anda ikut bertanggungjawab menulis 'kertas putih' sang anak. Anda dapat saja mengatakan, "Nak, kamu ini anak baik dan rajin yang kali ini sedang malas sekolah. Ada apa sayang?".
Sang Anak lebih besar dari Sang Malas. Sang Malas siap memberi pesan penting untuk dirinya dan anda, jika ia dan anda bertanya kepadanya dengan penuh kedamaian.